Kedudukan Alat Bukti Elektronik di Dalam Hukum Indonesia Ada sejumlah peraturan yang lain, yang menjelaskan terkait Alat Bukti Elektronuk ini, yaitu;
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Di dalam peraturan ini, ketentuan terkait Alat Bukti Elektronik cukup banyak ditemui, contohnya dalam Pasal 115 “Memotret
orang dan digunakan secara komersial melalui media elektronik dan non elektronik dipidana denda paling banyak 500 Juta.” Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa adanya pembuktian terhadap alat bukti elektronik. - Menurut Surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid1 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, di dalam Pasal 15
menjelaskan bahwa “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam Mikrofilm atau media lainya dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah serta jika bukti tersebut
diragukan maka dapat dilakukan cek atau legalisasi. - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 26 A
menjelaskan bahwa Alat Bukti khusus terkait TIPIKOR dapat diperoleh dari;- Alat Bukti yang berupa Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan alat tersebut
- Setiap Rekamann data / Informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dengan bantuan / tanpa bantuan sarana, baik berbentuk fisik (kertas) atau terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, atau apapun yang memiliki makna yang dapat dipahami dan berhubungan dengan kasus yang sedang terjadi.
- Lalu dengan penjelasan yang sama seperti diatas, terkait Alat Bukti Elektronik juga ditemukan di Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peratutan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lebih lanjut, di dalam pasal 5 Undang-Undang Informasi, telekoomunikasi, dan Informatika,
pemerintah Indonesia menambahkan ketentuan baru terkait perluasan alat Bukti yang bersambung pada Pasal 184 KUHAP yaitu;
(1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektrnonik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat diatas merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yag berlaku di Indonesia.
Terkait Alat Bukti Elektronik ini, Menrut Association of Chief Police Officers (ACPO), ada empat prinsip dalam penanganan alat bukti elektronik, yaitu;
- No action taken by law enforcement agencies or their agents should change data held on a computer or storage media which may subsequently be relied upon in court
(Aparat penegak hukum dilarang merubah data digital yang tersimpan dalam suatu media penyimpanan elektronik. Dengan maksud agar integritas dan keaslian data tetap
terpelihara sehingga dapat dibawa dan dipertanggungjawabkan di persidangan) - In circumstances a person finds it necessary to access original data held on a computer or on storage media, that person must be competent to do so and be able to give evidence
explaining the relevance and the implications of their actions (Dalam keadaaan seseorang harus mengakses data original yang terdapat di dalam
komputer maka orang tersebut harus benar berkompetensi dan memberikan penjelasan terhadap apa yang diperbuat dan akibat dari perbuatannya dpermasalahan tersebut.) - An audit trail or other record of all processes applied to computer-based electronic evidence should be created and preserved. An independent third party should be able to examine those processes and achieve the same result (Harus ada prosedur dan proses yang jelas diterapkan untuk mengumpulkan dan menganalisa alat bukti elektronik Dimulai dari penemuan Barang bukti sama ke laporan barang bukti)
- The person in charge of the investigation (the case officer) has overall responsibility for ensuring that the law and these principles are adhered to (Harus ada Pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaanan kegiatan diatas agar sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.)
Adapun Menurut peraturan Indonesia yang berlaku, Informasi / Dokumen Elektronik yang sah dan dapat digunakan di pengadilan adalah;
a. Bukanlah surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis
b. Bukanlah surat beserta dokumennya yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.3
c. Bahwa Dokumen elektronik harus dapat menjamin keotentikan, keutuhan, dan ketersediaanya (Syarat Materiil)
Maka dengan adanya ketentuan penjelasan terkait alat bukti elektronik ini maka ada penambahan ketentuan terkait Alat Bukti yang sudah ada yaitu;
(1) Keterangan Saksi;
(2) Keterangan Ahli;
(3) Surat;
(4) Petunjuk;
(5) Keterangan Terdakwa.
Sesuai dengan penjelasan tersebut. Alat Bukti elektronik ini memerlukan pembuktian lebih lanjut terkait keaslian(originalitas) sebagai syarat Materiil. Dikarenakan hal ini lah yang menjadi
perdebatan untuk dapat menggunakan Alat bukti elektronik di pengadilan. Alat bukti elektronik yang sah dan sesuai dengan ketentuan UU ITE, di dalam persidangan dapat
menjadi berbagai macam bukti untuk menyelesaikan masalah, seperti contoh;
- Jika Informasi/dokumen elektronik diubah menjadi bentuk cetak (di print) maka dapat dikatakan bukti ini termasuk kedalam alat bukti surat;
- Jika Informasi/dokumen elektronik tersebut berkaitan dengan alat bukti lain maka Informasi/dokumen elektronik ini dapat dimasukan kedalam alat bukti petunjuk6
Diluar cara menggunakan digital forensik atau mendatangkan ahli. Pembuktian untuk menentukan sah atau tidak nya alat bukti elektronik, untuk menilai Syarat Materiill dari bukti elektronik ini
dapat ditentukan dengan menggunakan Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of Authenticity) atau dalam artian bahwa Suatu dokumen/data digital atau tanda tangan digital dianggap asli kecuali dapat dibuktikan kepalsuannya.Dan prinsip tersebut dijalankan dengan ketentuan (Omkering van Berwijlast), dimana ketentuan dalam pembuktian nya adalah ketentuan terbalik /
“Barang siapa yang menyatakan bukti tersebut palsu maka dialah yang harus membuktikannya). Dalam hal ini, Hakim cukup menanyakan kepada Pihak lawan apakah bukti tersebut benar ataukah tidak ?. Jika pihak lawan tidak mengakui bukti elektronik yang dihadirkan maka pihak tersebut yang harus membawa bukti dan penjelasan7.
Berikut adalah sejumlah Putusan Pengadilan dimana dalam kasus tersebut, Hakim menerima Alat Bukti elektronik di dalam persidangan nya.
- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 9/KN/1999 yang dalam putusannya hakim menerima hasil print- out sebagai alat bukti surat
- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST yang dalam putusannya hakim menerima Rekaman CCTV menjadi barang bukti
- Putusan Pengadilan Negeri Sekayu Nomor 11/Pid.b/2015/PN yang dalam putusannya hakim menerima CCTV sebagai Barang bukti.
- Putusan nomor 108/Pdt.G/2021/PA.Mortb yang dalam putusannya hakim menerima Screenshot percakapan antara para pihak
- Putusan MA No. 439 B/Pdt.Sus-Arbt/2016. Yang dalam putusannya, hakim menerima
Transkrip percakapan aplikasi Whatsapp Messenger menjadi alat bukti yang sah.