Amir Hamzah and Rekan

Abstrak
Dalam beberapa kasus, seringkali tindak pidana penggelapan bersinggungan dengan Hukum perdata yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, penulis bertujuan untuk mencari tahu terkait sejauh mana batasan tindak pidana penggelapan di dalam permasalahan perdata terkhusus di dalam permasalahan wanprestasi dan juga bagaimana penerapan hukum nya di dalam permasalahan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian Normatif dan dilakukan melalui pendekatan kasus dan perundang-undangan serta teknik analisa yang dipakai adalah teknik Kualitatif, serta hasil dari penelitian ini adalah sepanjang dipenuhi nya unsur subjektif dan objektif tindak pidana penggelapan, maka permasalahan wanprestasi perjanjian tersebut mempunyai muatan pidana di dalam nya. Namun. Untuk penerapan hukum yang dipakai adalah hukum perdata dan dapat dikatakan semua persoalan pidana yang berawalan dari sebuah hubungan perjanjian yang sah, maka pasal tindak pidana penggelapan tidak dapat dikenakannya.

Abstract
The crime of embezzlement in some cases often intersects with Civil Law in Indonesia. In this case, the author aims to determine the extent of the limits of the crime of embezzlement in civil matters, especially in cases of default and also how the law is applied in these matters. This research is a Normative research and is conducted through a case and legislation approach and the analysis technique used is a Qualitative technique, and the results of this study are that as long as the subjective and objective elements of the crime of embezzlement are met, then the
problem of default has a criminal content in it. However. For the application of the law used is civil law and it can be said that all criminal problems that originate from a legitimate contractual relationship, then the article on the crime of embezzlement cannot be imposed.

PENDAHULUAN
Di Indonesia ada dua sistem hukum yang dikenal. Hukum pidana yang bertujuan untuk memberikan sanki kepada pelaku kejahatan sebagai bentuk tanggung jawab telah melanggar hukum yang ada dan sistem hukum perdata yang tujuannya lebih ke dalam penggantian atau pemulihan kerugian yang dialami. Pada dasarnya Indonesia telah mengatur ketentuan terkait tindak pidana penggelapan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di dalam pasal 372 yang menjelaskan bahwa barang siapa yang sengaja memiliki barang sesuatu (Seluruhnya/sebagian) yang merupakan kepunyaan orang lain yang berada di dalam kekuasaanya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp.900.000.1

Perbuatan Penggelapan ini seringkali dihubungkan/dikaitkan bersmaan dengan perbuatan wanprestasi. Pada dasarnya perbuatan wanprestasi sudah diatur dalam hukum Indonesia melalui

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lebih khusus unsur wanprestasi dijelaskan di dalam pasal 1243 yang menjelaskan bahwa diberikan denda terhadap pihak yang melanggar perjanjian jika pihak tersebut;

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi atau tidak melakukan apa yang sudah dijanjikan
  2. Melakukan perbuatan namun tidak sesuai dengan perjanjikan
  3. Melakukan perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
  4. Melakukan apa yang dijanjikan, namun melebihi batas waktu yang sudah disepakati2

Lebih lanjut didalam Pasal 1238 KUHPerdata menjelaskan terkait satu pihak dinyatakan bersalah dan Lalai wanprestasi dengan dikirimnya Warning Letter atau Somasi.3

Penggelapan dan wanprestasi tersebut sering dihubungkan dalam suatu permasalahan. Dari persoalan tersebut, maka penulis akan mengkaji sejauh mana batasan dari permasalahan wanprestasi perjanjian juga dikatakan tindak pidana penggelapan dan bagaimana menjalankan penyelesaian permasalahan pengelapan di dalam wanprestasi perjanjian.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode Normative Juridicial Legal Research, dimana dalam penelitian ini menggunakan metode yang menganalisa Secondary Materials atau
Kepustakaan. Bahan hukum primer yang ada pada tulisan ini terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga segala peraturan terkait. Selain
itu, bahan hukum sekunder diperoleh melalui Buku, Jurnal, yang memuat para pendapat ahli dan sumber hukum lain nya. 4


1 Pasal 372, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2 P, Sandy. “Penyebab Dan Gugatan Wanprestasi.” SIP Law Firm, August 5, 2024. https://siplawfirm.id/gugatan-wanprestasi/?lang=id, Accesed on September 20
3 Pasal 1238, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4 Soerjono soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2011, hal.12).


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Di dalam hal permasalahan Penggelapan dan Wanprestasi yang saling berkaitan, ada contoh yang dapat diambil untuk menggambarkan permasalahan tersebut, yaitu dalam tindak pidana penggelapan dana investasi. Dalam contoh kasus ini berawal dari proses pemindahan penggunaan dana perusahaan oleh seseorang yang dipercaya, namun dana perusahaan tersebut ternyata digunakan untuk mengelola tanpa izin atau tanpa sepengetahuan untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus ini diperkirakan pelakunya adalah seorang karyawan, manajer, atau eksekutif. Faktor yang menentukan permasalahan tersebut adalah permasalahan penggelapan adalah niat dari tindakan harus berdasar untuk menggunakan nya secara illegal atau untuk tujuan yang tidak sah (Keuntungan diri sendiri). Batasan tindak pidana penggelapan terhadap permasalahan wanprestasi perjanjian

Didalam persoalan keterkaitan antara dua permasalahan tersebut,untuk mencari tahu batasan kasus penggelapan terhadap kasus wanprestasi, Hakim pada umumnya harus melalui serangkaian proses analisis terhadap fakta hukum yang dihubungkan dengan peraturan yang berlaku dan disertai argumentasi yang diberikan hakim. Pada dasarnya tahapan proses analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Tahapan Penilaian dan Pembuktian (Konstatisir)
Pada tahapan ini, hakim menganalisis valid atau tidak nya suatu peristiwa yang diajukan atau didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, ketentuan ini didalam peradilan dibahas di dalam tahapan ajudikasi surat dakwaan “Mahkota Persidangan” , tahapan ini menjadikan dasar dari putus perkara adalah surat dakwaan, dan sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang bukan surat tuntutan.5

Pembuktian dari surat tersebut harus melalui proses penilaian kebenaraan dakwaan yang dilakukan oleh penuntut umum dan penasihat hukum dimulai dari mendengarkan keterangan saksi a charge dan saksi a de charge , keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan surat sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana.6 Serta dalam proses ini harus di dapatkan dua alat bukti yang sah untuk Hakim dapat menjatuhkan suatu putusan7.

2. Tahapan Pengelompokan (Kualifisir)
Pada tahapan ini, Hakim menentukan terpenuhi atau tidak nya syarat subjektif (Mens rea) ataupun syarat objektif (Actus reus), dan hakim juga harus menentukan termasuk kedalam mana perbuatan yang terbukti tersebut. Apakah termasuk kedalam perbuatan melanggar Hukum pidana (Wederrechteljik) atau perbuatan melanggar Hukum perdata (Onrechtmatige daad), serta Hakim menentukan apakah ada alasan pembenar dan pemaaf dari kedua perbuatam tersebut.

Adapun penjelasan di terkait Syarat Subjektif dan Objektif adalah sebagai berikut;


5 Pasak 182. Ayat 4, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6 Pasal 184, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
7 Pasal 183, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


• Syarat subjectif (mens rea)

  1. Pelaku dinilai mampu bertanggung jawab, menghendaki sendiri, dan mengerti bahwa perbuatan tersebut berdampak negatif dan tidak boleh dilakukan
  2. Pelaku sengaja atau benar-benar menghendakinya atau kelalaian yaitu kurangnya kehati-hatian dari pelaku; dan,
  3. Tidak adanya alasan pemaaf sebagai alasan untuk menghapus kesalahan dari pelaku.8

• Syarat Objektif (Actus Reus)

  1. memenuhi rumusan dan unsur undang-undang sebagai pelaksanaan asas legalitas 9
  2. bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) sebagai alasan yang dapat menghapus sifat melawan hukum perbuatan pelaku.

 

Pada dasarnya dalam hakim dalam tahapan ini adalah menentukan dapat dipidana (Straafbarheit van de persoon) atau tidak si pelaku (Straafbarheit van de feit).

3. Tahapan Penentuan (Konstintuir)

Pada tahapan ini, Hakim menerapkan hukum terhadap fakta yang sudah di analisa pada tahap-tahap sebelumnya, hukum apa yang dipakai untuk suatu peristiwa yang ada di dalam kasus permasalahan.

Pada dasarnya unsur Wanprestasi adalah; Ada perjanjian; Ada pihak yang melanggar perjanjian; dan Pihak yang melanggar tetap tidak melaksanakan kewajiban walaupun sudah diberikan peringatan dan dinyatakan lalai.10Dari unsur wanprestasi yaitu “ada perjanjian”, untuk dapat dikatakan perbuatan tersebut adalah penggelapan adalah adanya itikad tidak baik (mens rea) pada saat masa pelaksanaan kontrak

Pasal 372 KUHP menjelaskan karena ada itikad tidak baik (mens rea) terdakwa dengan sengaja (oogmerk) melawan hukum(formele wederrechtlijkheid). Serta dalam peristiwa tersebut terpenuhinya unsur (Actus reus) dari tindak pidana penggelapan yaitu mengaku sebagai milik sendiri barang atau sesuatu, sebagian atau seluruhnya yang merupakan kepunyaan orang lain dan digunakan untuk kepentingan diri sendiri.

Maka dapat disimpulkan batasan sampai mana suatu perbuatan masih bisa dikatakan tindak pidana Penipuan di dalam kasus wanprestasi nya perjanjian adalah pada saat terpenuhinya Syarat Subjektif (Mens rea) atau tindakan tidak itikad baik pada saat masa pelaksanaan perjanjian dan objektif (actus reus) dari penggelapan tersebut. Maka penyelesaian permasalahan yang ada pada wanprestasi perjanian ini juga dapat dilakukan penegakan hukum Pidana


8 Pasal 44 dan 49, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
9  Pasal 1, Ayat 1, dan 50, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
10 Renata Christha Auli, S.H. “Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum.” Klinik Hukumonline, August 19, 2024. https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-wanprestasi-dan-perbuatan-melawan-hukum-cl2719/.


Penyelesaian Terhadap Permasalahan antara Pidana Penggelapan dan Wanprestasi Perjanjian
Permasalahan diantara tindak pidana penggelapan dan permasalaan wanprestasi perjanjian menjadi rumit untuk dapat menentukan hukum mana yang dapat dijalankan dengan benar, namun berdasar pada contoh dari putusan yang sudah ada maka singkatnya dapat dikatakan Hukum yang dipakai dalam masalah tindak pidana penggelapan di dalam wanprestasi perjanjian adalah hukum perdata.

Contoh nya dapat dilihat dari Putusan Nomor 1073/Pid.B/2020/PN.Jkt.Tim. Dimana dalam kasus ini Hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) dalam perkara penggelapan tindak pidana penggelapan dana perusahaan.11 Namun terdapat fakta dalam persidangan, dikatakan bahwa terdakwa terbukti memenuhi unsur mens rea dan actus reus Tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP namun didalam kasus ternyata ada hubungan antara terdakwa dan korban dilandasi sebuah perjanjian yang sah dan ada hak korban yang belum dikembalikan terdakwa, maka dari alasan tersebut hakim berpendapat bahwa masalah tersebut masuk ke ranah perdata yaitu wanprestasi dan menyatakan bahwa hakim memberikan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging.)

Contoh lainnya dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt. Dimana kasus ini merupakan Tindak Pidana penggelapan, terdakwa menggunakan motif bilyet giro kosong untuk pembayaran pembelian barang pada saat itu dikarenakan kondisi keuangan yang sulit dimana transaksi antara terdakwa dan korban sebelumnya dibayar dengan benar. Dalam hal ini terdapat fakta yang sama yaitu adanya hak korban yang belum dikembalikan dan hakim memutuskan kasus ini tunduk pada Hukum perdata bukan pada Pasal 372 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.12

Dari dua kasus tersebut dapat dikatakan bahwa permasalahan yang dilandasi hubungan keperdataan, harus diselesaikan secara perdata bukannya dikenakan tindak pidana penggelapan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal tersebut sejalan dengan prinsip yang menjelaskan bahwa suatu kasus dapat/hendaknya ditempuh melalui jalur lain seperti melalui jalur Hukum perdata, Hukum administrasi, dan lainnya sebelum ditempuh nya Hukum pidana. Prinsip ini dinamakan Ultimum remedium13. Prinsip ini diakui di dalam filosofi hukum pidana14. Hal tersebut dikarenakan dalam suatu masalah, sanksi hukum pidana tersebut dikatakan lebih berat dari sanksi di bidang hukum yang lain.15


11 Korua, R. V. (2020). Kajian Hukum Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Perkara Pidana. Lex Crimen, 9(4).
12 Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt
13 Sudarto. (1990). Hukum Pidana 1A. Undip.
14 Kejaksaan. Accessed September 20, 2024. https://prolev.kejaksaan.go.id/kejaksaan/article/download/1/8/20.
15 Penerapan Prinsip ultimum Remedium Dalam Tindak Pidana Korupsi | Jurnal Yudisial. Accessed September 20, 2024. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/266.

KESIMPULAN
Dapat dikatakan dari hasil penulisan ini menjelaskan bahwa batasan pada suatu peristiwa penggelapan dalam permasalahan wanprestasi perjanjian adalah jika unsur objektif (mens rea) dan unsur subjektif (arcus reus) dari tindak pidana penggelapan terpenuhi, unsur tersebut terkandung di dalam Pasal 372 KUHP yang menjelaskan karena ada itikad tidak baik (mens rea) terdakwa dengan sengaja (oogmerk) melawan hukum(formele wederrechtlijkheid). Serta dalam peristiwa tersebut terpenuhinya unsur (Actus reus) dari tindak pidana penggelapan yaitu mengaku sebagai milik sendiri barang atau sesuatu, sebagian atau seluruhnya yang merupakan kepunyaan orang lain dan digunakan untuk kepentingan diri sendiri ketika dalam masa pelaksanaan kontrak.

Dan juga permasalahan terkait penyelesaian masalah terkait penggelapan di dalam wanprestasi perjanjian tersebut akan memakai hukum perdata, hal ini didasarkan pada melihat putusan terdahulu serta dalam rangka menerapkan Prinsip Ultimum remedium yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa suatu kasus dapat/hendaknya ditempuh melalui jalur lain seperti melalui jalur Hukum perdata, Hukum administrasi, dan lainnya sebelum ditempuh nya Hukum pidana.


REFERENSI

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
  • Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt
  • P, Sandy. “Penyebab Dan Gugatan Wanprestasi.” SIP Law Firm, August 5, 2024. https://siplawfirm.id/gugatan-wanprestasi/?lang=id, Accesed on September 20, 2024.
  • Soerjono soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2011, hal.12).
  • Renata Christha Auli, S.H. “Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum.” Klinik Hukumonline, August 19, 2024. https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-
    wanprestasi-dan-perbuatan-melawan-hukum-cl2719/.
  • Korua, R. V. (2020). Kajian Hukum Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Perkara Pidana. Lex Crimen, 9(4).
    Sudarto. (1990). Hukum Pidana 1A. Undip.
  • Kejaksaan. Accessed September 20, 2024. https://prolev.kejaksaan.go.id/kejaksaan/article/download/1/8/20.
  • Penerapan Prinsip ultimum Remedium Dalam Tindak Pidana Korupsi | Jurnal Yudisial. Accessed September 20, 2024. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/266.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *